Beruntung
“Eh liat cowo
itu deh.” Nerlin menarik lenganku.
“Yang mana sih?”
aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan.
“Itu tuh, dia
lagi jalan kesini.” Nerlin menarik lenganku semakin kuat.
“Siapa? Geo?”
aku mengikuti arah pandangannya. Nerlin terus menatap laki laki itu hingga iya
melewati kami, dan menghilang diantara banyak orang.
“Hah? Siapa tadi
mananya? Geo? Lo kenal sama dia?” Nerlin yang baru saja kehilangan sosoknya
menarik aku keluar dari kerumunan orang orang yang sibuk dengan urusan
masing-masing. Kami berjalan kearah halaman belakang rumah teman kami yang
sedang berulang tahun.
“Iya, dia satu
ekskul sama gue.” jawabku acuh.
“Lo ko ga
ngenalin dia ke gue sih?”
“Penting banget
emang ya? Lagian gue juga ga terlalu deket sama dia.” jawabku sambil
menjatuhkan tubuh semampaiku ke bangku panjang di halaman belakang rumah temanku.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar, tanda ada pesan masuk. Ternyata chat BBM dari Geo, aku segera membuka
pesan itu tanpa berkata apapun pada Nerlin. Dan kami sempat melakukan obrolan
singkat via BBM.
Eh, gue tadi liat lo lagi ngobrol sama cewe..
Iya, kenapa?
Kenalin dong ke gue..
Lo sekarang dimana? Sini aja kalo lo mau kenalan,
gue sama dia lagi di halaman belakang.
Geo tak membalas
pesanku, dia hanya membacanya, dan dua menit kemudian dia sudah ada
disampingku. Tiba-tiba saja Nerlin mencubit lenganku. Refleks saja aku
terperanjat dan bertatapan dengan Geo.
“Eh, Geo, udah
lama lo berdiri disitu?” ujarku basa basi.
“Ga juga ah,”
jawab geo singkat.
“Eh iya, kenalin
ini temen gue Nerlin, Nerlin ini Geo, Geo ini Nerlin.” aku memperkenalkan Geo
pada Nerlin.
“Geo” ujar Geo
sambil mengulurkan tangannya.
“Nerlin” Nerlin
menyambut uluran tangan Geo.
“Eh, Lin, gue
mau ke kamar mandi dulu ya, lo tunggu sini oke.” jawabku sambil beranjak.
“Eh, iya,” jawab
Nerlin yang kelihatan agak bingung. Senyap beberapa detik. Aku tidak
benar-benar ke kamar mandi, aku hanya pindah beberapa bangku dari mereka. Benar
saja dugaanku, mereka sudah duduk bersama dan membicarakan banyak hal.
“Sendirian aja
Ra?” tegur seseorang, refleks aku berbalik, dan mendapati sosok yang tak begitu
asing bagiku.
“Eh, elo Dit,
ngagetin aja lo ya, sini duduk.” aku mengabaikan pertanyaan Adit tadi.
“Nerlin mana?
Tumben banget lo sendiri?” Adit merubah pertanyaannya dan duduk di sebelahku.
“Nerlin tadi
lagi ngobrol sama Geo, ya gue gamau ganggu aja makannya gue pindah.” jawabku
sambil melirik wajah Adit.
“Oh gitu ya, eh,
nanti lo pulang sama siapa?”
“Gatau nih,
emang lo mau nganter gue?”
“Asal ga sama
Nerlin, soalnya gue bawa motor.”
“Emang kalo lo
bawa mobil mau nganter gue sama Nerlin?”
“Ya ngga juga,”
jawab Adit sambil membuang mukanya.
“Lo tadi kesini
sama siapa?” aku berusaha membuka percakapan kembali.
“Sendirian aja,
kenapa?”
“Tumben lo mau
dateng ke acara kaya gini?”
“Ya gue bosen
aja dirumah, salah emang?”
“Ya enggak sih,
tapi kayanya lo juga bosen ada disini.”
“Se-enggak-nya
gue ga sendiri disini.” Adit melirik jam tangannya, dan kembali melihatku, “Lo
mau pulang jamberapa?”
“Mau pulang sekarang?
Tunggu gue tanya Nerlin dulu.” aku tidak menjawab pertanyaan yang lebih
menyerupai perintah itu, aku meronggoh ponsel di saku jeans-ku, dan mengirim
pesan melalui BBM.
Lin, lo nanti pulang sama Goe kan? Gue mau pulang
sama Adit.
Iya, gue juga mau pulang sekarang, lo pulang kapan?
Eh iya sorry ga pamitan.
Iya gapapa, gatau nih. Yaudah see you tomorrow aja
ya. Jangan lupa jam 8 di town square.
Siap.
Aku memasukkan
ponselku ke dalam saku jeansku lagi.
“Gimana Ra?”
“Beneran gapapa
lo nganter gue dulu?” tanyaku sekedar meyakinkan.
“Iya, Clara, lo
mau bukti kaya apa biar lo percaya kalo gue serius?”
“Ya, nanti lo
muter-muter.”
“Gapapa kali,
lagian kan rumah kita searah, mau pulang sekarang?”
“Yaudah ayo,
biar lo ga kemaleman.” Adit beranjak, aku mengikutinya dari belakang. Adit
teman satu kelasku, cukup tampan, lumayan cuek. Jujur saja, tidak banyak gadis
di sekolahku yang berhasil dekat dengannya, walau aku tau banyak yang diam-diam
menyimpan rasa padanya. Berarti bisa dibilang aku adalah gadis yang beruntung.
∞∞∞∞∞
Aku dan Nerlin
sudah berjanji akan datang ke acara bazzar
ini tepat pukul 08.00, dan sekarang aku sedang duduk di bangku yang
disediakan salah satu stand makanan. Town Square mulai padat, orang-orang hilir
mudik, sibuk dengan urusan masing-masing. Sudah hampir 15 menit aku menunggu
Nerlin disini, tapi batang hidungnya tak juga muncul.
“Tumben banget
anak itu ngaret” ujarku lebih pada diri sendiri, sambil melirik jam tanganku
yang menunjukkan pukul 08.15.
“Ra, Nerlin
mana?” tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, refleks saja aku menoleh.
“Eh, lo juga
lagi nunggu Nerlin?”
“Iya, katanya
dia janjian sama lo disini kan?” Geo mengarahkan pandangan ke sekelilingnya.
Dan kembali menatapku saat tak menemukan sosok yang ia cari.
“Lo tau
darimana? Iya emang gue janjian sama dia dari jam 8 tadi, tapi dia belom
dateng.” jawabku sambil meronggoh saku jaketku. Hendak mengambil ponsel dan
menelfon Nerlin.
“Nerlin cerita
ke gue semalem”
“Oh,” jawabku
singkat sambil menekan tombol di ponselku.
“Eh, gue ke sana
dulu ya,” ujar Geo sambil beranjak ke stand yang menjajakan buku-buku tebal.
Aku hanya mengangguk tanpa mengangkat kepalaku satu mili pun. Aku sibuk menekan
tombol di ponselku, dan berusaha menghubungi Nerlin. Sekali tak ada jawaban,
dua kali, masih saja sama, dan akhirnya sosok itu sudah sibuk mengacak-acak tas
tangannya di hadapanku.
“Nyari apa lin?”
tanyaku sambil mematikan panggilan di ponselku.
“HP gue mana?
Ada telfon nih, ah mati kan” Nerlin menjatuhkan tubuhnya di atas kursi
dihadapanku sambil terus mencari ponselnya.
“Serius amat lo
nyari HP-nya, gue yang telfon ko, tenang aja” ujarku sambil mencondongkan
tubuhku kedepan.
“Heu, gue kira
siapa” Nerlin menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Lo kemana aja
lin? Ko tumben banget lo ngaret?”
“Sorry banget ya
Ra, gue tuh tadi kejebak macet di jalan. Lo tuh kaya yang gatau jalanan aja
kaya apa kalo hari sabtu.”
“Ah elah, jam 8
mana ada macet Lin? Macet tuh mulai ada jam 10 keatas kali. Itumah lo aja kali
yang kesiangan.” ujarku sambil menjatuhkan punggungku ke sandaran kursi.
“Iya, iya maafin
gue Ra, gue emang kesiangan tadi. Eh iya lo liat Geo ga? Kemaren katanya dia
mau kesini.” Nerlin mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru Town Square.
“Dia tadi
kesini, terus ke stan itu” ujarku sambil menunjuk stand yang tadi dituju Geo.
“Eh, lo mau jalan sama Geo? Sebelum lo jalan sama dia, temenin gue dulu nyari
buku sama baju” ujarku sambil meraih tas tanganku, dan berdiri.
“Ah elah, gue
baru sampe kali Ra, tunggu dulu bisa kali ya?”
“Ya elo enak
duduk, pantat gue udah panas nih duduk mulu. Ayo ah cepet.” Aku menarik tangan
Nerlin yang memaksa untuk tetap duduk.
“Iya, iya Ra.”
Nerlin berdiri dengan terpaksa. Dan kami berjalan ke stan yang menjajakan baju
buatan butik yang baru saja dibuka. Aku sengaja mencari baju dulu sebelum pergi
ke stand yang sama dengan yang tadi dituju Geo. Aku mulai mencari baju yang pas
untuk aku kenakan di acara pernikahan teman kakakku. Selain itu aku juga
mencari beberapa accesories pemanisnya. Setelah ku dapatkan semua yang aku
cari, aku dan Nerlin pergi ke satu-satunya stand yang menjajakan buku di acara bazzar ini. Benar saja dugaanku tadi,
Geo sedang membaca buku-buku yang disediakan oleh stand ini. Dan sepertinya geo
menyadari kehadiranku dan Nerlin disini.
Dan lihatlah
pria itu mulai mendekat, ia sempat menyapaku, namun aku hanya tersenyum
membalas sapaannya. Mendadak saja semua yang aku lihat menjadi begitu buram,
semua yang aku dengar begitu sunyi. Aku berusaha mengembalikan semua pikiranku,
berusaha bertahan, namun mendadak saja aku merasa begitu lemas. Dan aku mulai
tidak bisa merasakan kakiku, dan aku terjatuh begitu saja, bagai pensil yang
tak sengaja tersenggol dan jatuh dari meja. Entah apa yang aku bentur, aku
hanya merasa sakit, dan aku kehilangan segalanya, begitusaja.
∞∞∞∞∞
Silau. Dimana aku? Aku melihat beberapa lampu yang
tak begitu terang, tapi cukup menyilaukan bagiku. Kepalaku terasa sakit
dibagian belakang, dan pandanganku mulai membaik perlahan.
“Ra, lo udah
sadar? Syukurlah.” suara itu mulai terdengar jelas, dan sosok yang sangat
kukenal mulai terlihat jelas.
“Lin? Kenapa gue
ada disini? Ini dimana Lin?” aku bertanya sambil memandang berkeliling.
“Lo tadi pingsan
Ra, sekarang lo ada di posko PMI”
Nerlin menjelaskan sambil duduk di sebelah ranjangku.
“Hai Ra,” suara
itu terdengar begitu bersemangat.
“Dit? Kenapa lo
bisa ada di sini?” aku kaget melihat sosok Adit yang begitu lega.
“Gue emang udah
niat mau kesini dari seminggu lalu, eh gataunya lo juga disini. Dan kenapa gue
ada di posko ini juga, karena waktu lo pingsan, lo nabrak gue.” jelas Adit
sambil berjalan mendekat.
“Jadi lo yang
nahan gue? Makasih ya dit, maaf ya gue jadi ngerepotin kalian semua.” jawabku
sambil tersenyum manja.
“Udah, lo ga
ngerepotin kita ko, yang penting sekarang lo sehat dulu aja.” Geo yang daritadi
berdiri disamping Nerlin mulai ikut berbicara. Dan kami menghabiskan waktu kami
bercanda di posko itu selama 15 menit. Setelah aku merasa cukup kuat untuk
berjalan lagi, kami meminta izin kepada salah satu penjaga posko. Dan kami
memutuskan untuk makan di salah satu restaurant ternama di kota ini.
Menghabiskan sisa siang dan sore berempat.
∞∞∞∞∞
Hari demi hari
terus berlalu, berlalu begitu saja. Dan hingga suatu pagi,
“Ra, lo musti
denger cerita gue!” suara Nerlin terdenger penuh semangat diujung sana.
“Yaudah lo cepet
cerita sekarang.” jawabku sambil mengumpulkan tenagaku di pagi yang seharusnya
kuhabiskan untuk tidur.
“Ga rame kalo ga
cerita langsung, gue tunggu di tempat biasa jam 8”
“Gue mau ngaret
boleh? Sekarang kan tanggal merah.”
“Ah elo, yaudah
gue ke tempat lo aja.”
“Yaudah gue
tunggu.” itu akhir percakapan kami di telfon. Aku tak langsung beranjak, aku
hanya melamun di atas ranjangku. Membiarkan otakku beristirahat. Dan tanpa
kusadari aku kembali tertidur, wajar saja semalam aku sibuk menemani tugasku
yang tak kunjung selesai. Dan entah berapa menit kemudian bel rumahku sudah
berbunyi, dan aku terbangun. Aku tak bergegas turun, entah mengapa, aku merasa
begitu lelah. Sampai aku memutuskan untuk menyuruh Nerlin langsung naik ke
kamarku melalui pesan BBM. 1 menit
kemudian Nerlin sudah melompata ke atas ranjangku. Aku yang sedang merapihkan
rambutku menatap Nerlin dari cermin dihadapanku. Aku dapat merasakan pancarah
kebahagiaan dari wajahnya.
“Jadi lo mau
cerita apa?” tanyaku sambil berbalik kearahnya.
“Aaaaaaaaahhhh,
lo pasti ngerti lah”
“Gue ngerti
apa?” ujarku pura pura tak paham.
“Lo tau acara promnight itu kan?”
“Iya tau, tapi
itu kan acara anak kelas 12.” Aku mulai tak mengerti dengan jalan pikiran
temanku yang satu ini.
“Dia ngisi acara
disana, dan dia ngajak gue buat nonton.” Nerlin terlihat begitu bahagia.
“Terus?”
“Terus? Ya gaada
terusannya lah. Eh, iya nanti sore temenin gue cari baju buat ke acara promnight ya, pliiiiss.” ujar Nerlin sambil beranjak dari ranjangku dan berdiri
di depan cermin. Aku terkejut mendengar jawaban itu, bukan jawaban yang aku
harapkan. Aku tak lagi memperhatikannya, aku kembali menatap cermin meja rias
di kamarku. Pikiranku tiba-tiba melayang. Teringat sosok Adit yang menghilang
begitu saja 1 bulan lalu.
Satu bulan lalu,
tepatnya setelah selesai psikotes di
sekolahku. Aku pulang seperti biasa, menaiki angkutan kota, hanya saja kini aku
pulang sendiri. Beberapa bulan yang
lalu, sebelum pesta ulang tahun itu, aku pulang bersama sahabatku. Dan setelah
pesta ulang tahun itu, aku selalu diantar pulang oleh sosok yang sekarang sudah
lenyap dari kenyataanku. Tepatnya pada hari ini, dia tiba-tiba saja berubah,
seakan dia tidak pernah mengenalku. Walau tadi dia sempat menawariku pulang,
tapi aku menolak, dan dengan dinginnya dia pergi begitu saja. Ya aku tahu aku
bodoh telah menolak ajakan itu. Tapi saat ini aku sedang menghadapi masalah
lain, coba bayangkan rasanya saat kau masih terlarut dalam kesedihan, dan
sahabatmu tidak mengetahuinya. Namun kau harus turut berbahagia atas
kebahagiaan sahabatmu.
“Ra, gue mau
pinjem dress lo yang ini dong” suara
Nerlin membuyarkan lamunanku. Aku berbalik dan menatapnya sedang berdiri
menghadapku dan mengangkat dress backless hitamku.
“Jadi lo gajadi
beli?” ujarku sambil beranjak dari dudukku dan menghampirinya.
“Gue baru inget
ternyata dress lo itu bagus bagus
Ra.”
“Kenapa lo ga
coba yang ini” ujarku sambil menyodorkan dress
berwarna hitam legam, dengan hiasan renda di bagian lengannya yang hanya
menutupi ⅓ bagian lengan kanan.
“Ah, itu mah
kepanjangan buat gue Ra, lo tau kan gue itu ga setinggi lo.” Nerlin kembali
melihat koleksi dress-ku. “Bagusnya
yang warna apa ya?”
“Kalo ga item ya
putih lah Lin, masa lo mau pake dress warna
pink?”
“Ya gapapa
kali?”
“Emang temanya
apa?”
“Black n WhiteNight”
“Terus lo mau
pake baju warna pink?” Nerlin tak menjawab pertanyaanku, akupun terus
membantunya mencari dress yang pas.
“Lo mau yang long dress atau yang
selutut?”
“Yang pas buat
gue pokonya” Nerli mengeluarkan satu per satu dress-ku, menempelkannya ke tubuhnya, dan mengembalikannya. Begitu
terus, sampai aku selesai meletakkan 4 dress
yang menurutku cocok untuknya di atas ranjang.
“Nih, tinggal lo
pilih, mau yang mana.” Aku pun duduk di samping ke-empat dress tadi. Nerlin pun segera berbalik, dan melihat keempat dress yang aku keluarkan tadi.
“Lo salah
nunjukin ini semua ke gue, gue jadi makin bingung.”
“Kenapa lo ga fitting dulu coba Lin? Repot amat.” aku
memperhatikan tingkahnya yang berubah dalam sekejap. Ia mengambil dress pertama, masuk ke ruang gantiku,
dan keluar 3 menit kemudian. Bergaya ala disney
princess, berputar di depan cermin, dan kembali masuk ke ruang ganti
mengambil gaun berikutnya.
Dan pada
akhirnya ia memutuskan meminjam long dress
berwarna putih, tanpa lengan di bagian kanan tapi dengan tali berhiaskan mutiara
di bagian kiri. Aku membantunya merapihkan model rambutnya. Dan Nerlin terlihat
bak puteri dari kerajaan, sungguh cantik, walau tanpa make up.
“Besok hari
Minggu, lo bantuin gue make up ya,
jadi baju lo gue tinggal. Terus sorenya lo anter gue naik mobil, pliiiiisss.” Nerlin berbalik, dan
memohon.
“Terus malemnya
gue jemput lo? Gitu? Enak aja. Kalo nganter masih oke”
“Ngga ko, anter
doang, kan lo baru bisa nyupir.” Nerlin tersenyum manja kearahku.
“Yaudah, Minggu,
jam berapa?”
“11? Gimana?”
“Okey. Eh, lo
udah sarapan belom?” aku membuka pembicaraan baru, Nerlin hanya nyengir kuda. “Iya, gue tau dirumah lo
gaada orang, makannya lo boleh pergi sepagi ini. Ayo kita sarapan dulu.” aku
beranjak dari ranjangku.
“Bentar kali,
gue mau ganti baju dulu.”
“Yaudah cepet”
∞∞∞∞∞
Minggu, sesuai
janji, jam 11 Nerlin sudah tiba dirumahku. Aku baru saja selesai mandi saat
Nerlin tiba dikamarku.
“Selamat pagi
Claraaaaaa.” Nerlin sudah duduk di depan meja riasku saat aku selesai
mengenakan baju.
“Pagi,” aku
duduk di atas ranjangku. “Makan siang dulu gimana?” aku bertanya sedikit
enggan.
“Hello ini masih
pagi tau, lagian gue abis sarapan tadi jam 9, jadi belum laper.”
“Ya masa mau make up dari sekarang? Emang acaranya
jam berapa?”
“Jam 4 sih”
“Yaudah, nanti
aja, lo kaya yang ga pernah dandan aja.” Nerlin tak menjawab kalimatku. “Jadi,
lo sama Geo apa kabar?” aku berusaha mencairkan suasana.
“Baik, lo?”
“Seperti yang lo
liat gue baik.”
“Bukan, maksud
gue, lo sama Adit. Ko gue jarang liat lo bareng dia lagi?”
“Oh dia, dia
lagi sibuk mungkin.” aku menjawab acuh, sambil memalingkan wajah.
“Lo ada masalah
apa sama dia? Ko lo gapernah cerita sama gue? Udah ga percaya sama gue lagi
ya?” Nerlin duduk tepat dihadapanku, dan memaksaku menjelaskan semuanya.
“Satu, gue ngga
ada masalah apa apa sama dia. Dua, karena gue gamau ngeganggu masa masa bahagia
lo. Tiga, udah gue jawab tadi.” aku, merasa menyesal sudah bertanya kabar
mereka tadi.
“Oh, tapi lo tau
ga sih kalo Adit itu sering main sama Geo?” Nerlin mulai sedikit rileks dan duduk di sampingku.
“Tau ko, mereka
kan satu SMP gitu. Kenapa emang? Lo
baru tau?”
“Oh jadi mereka
satu SMP. Ya ngga sih, gue heran aja
kemarin Geo tiba tiba nanyain hubungan kalian.”
“Lo ga nanya
kenapa dia tiba tiba nanya gitu?”
“Ya katanya sih
belakangan ini Adit tuh sering ngelamun
gitu. Terus dia kira tentang lo.” Nerlin menjawab ringan.
“Oh, terus lo
jawab apa?” aku masih tertarik dengan topik ini.
“Gue jawab nanti
gue tanyain ke lo”
“Yah tentang
cewe lain mungkin? Kenapa musti gue coba?” aku mulai kehilangan semangat
tentang topik ini.
“Soalnya kata
Geo, Adit terakhir jalan sama cewe tuh sama lo.” sekarang Nerlin yang tampak
bersemangat.
“Ya, siapa tau
aja Adit ga cerita ke temen temennya tentang cewe yang lagi di deketin sama
dia.”
“Emang gimana
ceritanya sih ko lo bisa jauh sama Adit?”
“Loh
emang kenapa? Kita kan Cuma temen, ga lebih Lin, lo tau kan? Bisa aja dia lagi
bosen sama gue, atau lagi naksir cewe lain, siapa yang tau coba?” aku
menatapnya bertanya.
“Iya
juga sih, tapi yaudah lah.” Nerlin sepertinya tahu aku mulai tidak menyukai
topik yang sedang kami bahas. Nerlin beranjak ke balkon rumahku, mungkin lebih
tepatnya balkon kamarku. Aku mengikutinya dan duduk bersandar di tembok. Nerlin
tak duduk disebelahku, ia berdiri membelakangiku, dan menatap pemandangan
dihadapannya. Kami sibuk dengan pikiran masing masing selama beberapa menit
sampai suara Bundaku memecah keheningan.
“Ra,
Nerlinnya diajak makan siang gih.” suara Bundaku cukup keras untuk terdengan ke
kamarku. Aku tak menjawab, aku hanya beranjak, dan menarik Nerlin yang
sepertinya sedang BBMan dengan seseorang.
“Deuh
yang lagi sibuk BBMan.”
“Hehe,
apaan sih lo? Kaya yang gapernah gini aja?”
“Iya
pernah ko pernah. Kasi tau Geo kalo lo mau makan.” Nerlin tak menjawab
kalimatku, entah mendengar atau tidak, tapi aku terus menggandeng tangan Nerlin
yang sibuk mengetik.
Setibanya
di ruang makan, aku mencubit Nerlin agar dia meletakkan ponselnya. Karena
peraturan dirumah kami adalah ‘Dilarang
membawa HP ke ruang makan’. Dan aku yakin Nerlin mengetahui peraturan itu
dengan sangat baik. Dan Nerlin segera memasukkan ponselnya kedalam saku
celananya.
“Ra,
nanti Bunda sama Ayah mau ke dokter. Kak Tio mau ke kampus. Rizki dirumah, jadi
kalo mau nganter Nerlin, Rizki diajak ya.” kata-kata barusan menyambut
kedatangan kami di ruang makan.
“Iya
bun.” aku hanya menjawab singkat.
“Bun,
nanti Rizki mau main ke mall sama Kak Rara boleh kan?”
“Aku
kan belum punya SIM Ki, nanti kalo
ditangkep polisi gimana?” aku langsung saja menjawab pertanyaan Rizki sebelum
Ayah atau Bunda menjawab.
“Tapi
kakak mau nganter Kak Nerlin gapapa tuh sama bunda.”
“Yah
aku kan cuman nganter dia ke gedung depan kompleks Ki, jadi gapapa sama Ayah,
sama Bunda.”
“Iya
bener tuh kata Kak Rara. Kalo mau main dirumah aja.” Ayah berusaha melerai
perdebatan kita. “Kak Tio nanti pulang jam berapa dari kampus?” Ayah bertanya
kepada Kak Tio yang baru saja tiba di ruang makan, dan sedang sibuk merapihkan
pakaiannya, yang sebenarnya sudah rapih.
“Jam
4 yah, kenapa emang?”
“Yaudah,
nanti malam kita pergi jalan jalannya bareng aja.” Ayah tak menjawab pertanyaan
Kak Tio, tapi kembali merayu Rizki. Kak Tio hanya menggeleng dan duduk di
samping Rizki.
Aku
menyempatkan melirik Nerlin yang sepertinya sedang sibuk, benar saja, dia
sedang asik BBMan. Aku segera
menepuknya. Dan dia segera menyimpan kembali ponselnya kedalam saku celana.
Ayah dan Rizki masih sibuk berbincang, dan sepertinya Kak Tio mulai mengikuti.
Bunda sedang sibuk menyiapkan makanan untuk kita, dibantu Bi Odah.
“Gue
ganggu acara keluarga lo ga?” Nerlin kini merasa canggung.
“Ngga
ko, aduh, lo kaya baru pertama makan bareng sama keluarga gue aja.”
“Ya,
siapa tau.” Nerlin tersenyum kearah Bi Odah yang baru saja meletakkan piring
berisi nasi dan ayam goreng dihadapannnya.
“Sudah
ngobrolnya dilanjutin nanti, sekarang makan dulu.” Bunda mengakhiri pembicaraan
Ayah, Kak Tio dan Rizki.
“Selamat
makan.” aku memulai tradisi kami.
“Selamat
makan.” semua mengikuti dengan serempak.
∞∞∞∞∞
Sesuai
yang diperintahkan bunda tadi siang, aku mengajak Rizki. Awalnya Rizki menolak
untuk ikut, tapi aku memaksanya. Di dalam mobil Rizki tak berhenti menceritakan
tentang sekolahnya kepada Nerlin. Aku dan Nerlin pun tertawa tanpa henti
mendengarkan ceritanya.
“Iya
ka Kiki waktu itu nyumputin sepatu temen Kiki, eh temen Kiki marah sama Kiki,
terus Kiki dimusuhin satu kelas.”
“Kakak
dulu juga pernah dimusuhin satu kelas gara gara gangasi contekan.” Nerlin
menimpali cerita Rizki.
“Kalo
Kiki waktu itu dimarahin Guru gara-gara ngasih tau jawaban ke temen, sampe
Bunda marah marah sepanjang minggu sama Kiki.”
“Makannya
Kak Rara kan pernah bilang jangan kasi contekan.” aku berkomentar dibalik
kemudi. “Dan, kita sudah sampai nona.” aku membuka kunci dari kemudiku, dan
benar saja, Geo menyambutnya, dan ada Adit, ya Adit pun ikut menghampiri
mobilku. Aku membuka kaca bagian kemudi. Karena aku melihat Adit menghampiriku.
“Ra,
lo ga ikut?”
“Sorry
Dit, gue nanti malem mau ada acara sama keluarga.”
“Jadi
lo kesini cuman nganterin Nerlin doang?” Adit nertanya semakin heran.
“Ya
bisa dibilang begitu. Sorry banget ya Dit,” Aku meminta maaf, dan Nerlin sudah pamit
kepadaku. Dan meninggaklan kami. Aku melirik Rizki, dan memastikan dia tidak
sedang menguping.
“Lo
gaperlu minta maaf ko, lo ga salah juga, harusnya gue yang minta maaf. Gue ga
ngajakin lo.”
“Ya
gapapa ko.”
“Eh
iya Ra, gue pengen ngomong sesuatu sama lo.”
“Ngomong
aja”
“Tapi
gabisa disini.”
“BBM
aja kali, jangan kaya stranger gitu.
Eh iya, btw, gue duluan ya, kasian adik gue nih, bye.”
“Yaudah
deh, bye.” ujar Adit sambil melambai, aku hanya membalas lambaian itu dengan
senyuman. Aku segera menutup kaca bagian kemudi, dam memasang sabuk pengaman ‘safety first’ dan segera mamutar arah. Aku
melihat Adit masih berdiri disitu, aku hanya menekan klakson dan segera pergi.
∞∞∞∞∞
“Kak,
itu tadi pacar kakak?” tanya Rizki sambil terus bermain PS. Aku sudah tiba
dirumah sejak 30 menit yang lalu, dan aku sedang asyik melihat Rizki dan Kak
Tio bermain PS sejak 15 menit yang lalu. Tiba-tiba saja Rizki bertanya, dan
membuat ku terkejut.
“Bukan
ko cuman temen” ujarku sambil memperhatikan wajah adikku yang baru kelas 6 SD
itu.
“Tapi
kayanya Kiki pernah liat orang itu ka.” Rizki tetap fokus pada gamenya.
“Oh,
emang dulu kakak sempet di anter pulang sama dia.” Ujarku sambil kembali
memperhatikan game PS, dan tiba-tiba saja game itu di pause.
“Siapa
Adit?” tanya Kak Tio yang mulai penasaran.
“Iya,
kakak kenal dia?” aku memperhatikan wajah kakakku yang menatapku serius.
“Kak
kenapa di pause gamenya? Kiki kan
udah hampir menang.” Rizki memprotes aksi Kak Tio yang tiba-tiba mem-pause game PS.
“Bentar
Ki, ya kenal lah, dia kan satu komunitas sama kakak” jawab Kak Tio, dan kini
Rizki mulai asik menguping pembicaraanku dan Kak Tio.
“Kakak
ikut komunitas apa?” tanyaku heran.
“Aduh
kamu itu kudet atau apa sih ra? Kakak dulu pas SMA kan ikut ekskul PA, nah Adit
juga ikut, kamu tau kan kalo PA itu hubungan antar angkatannya deket banget,
jadi deh kakak tau.” jelas Kak Tio panjang lebar.
“O
gitu,” aku hanya ber-o ria. “Dunia ini sempit ya kak” lanjutku.
“Haha
iya” jabar Kak Tio
“Kak
PA itu apa? Terus kegiatannya apa?” Rizki penasaran dengan penjelasan Kak Tio.
“PA
itu Pencinta Alam, kegiatannya kaya camping gitu, pokonya yang berhubungan
dengan alam.” jelas Kak Tio dengan sabar. Taklama kemudian terdengar klakson
mobil dari luar, Rizki bergegas membuka pintu. Dan sesuai janji ayah, kami
berangkat pukul 7.
∞∞∞∞∞
Jam
menunjukkan pukul 9 malam, aku baru saja membaringkan tubuh diranjang saat ponselku
berdering, tanda ada pesan masuk. Saat kubuka ternyata itu pesan dari Adit, dan
kami sempat mengobrol via BBM sebentar.
Ra, gue minta maaf ya, gue sempet
tiba-tiba ngilang gitu. Dan maaf juga baru bbm lo malem malem gini, semoga lo
belum tidur. Gue mau ngomong tapi besok ya, gue tunggu pulang sekolah di café
depan sekolah.
Gue belum tidur, baru mau, yaudah see you
tomorrow
Good night Ra, nice dream J
Pesan
terakhir dari Adit hanya aku baca, dan aku segera tidur.
∞∞∞∞∞
“Jadi
lo mau ngomong apa?” tanyaku saat kami sudah duduk disalah satu kusi di dalam
café.
“Tapi
lo jangan marah.”
“Kenapa
harus marah?”
“Maaf
juga kalo ini tiba-tiba. Jadi gue mau ngejelasin semuanya ke lo. Sebelumnya gue
mau minta maaf, karena gue sempet ngilang gitu, dugaan lo bener, gue sempet
suka sama orang lain, makannya gue mutusin buat ngejauh, lagian gue ngerasa
kita emang belum ada hubungan spesial dulu. Terus ga berapa lama, waktu gue
deketin dia, gue ngerasa ga nyaman, dan kangen lo, dan gue baru sadar, kalo gue
itu suka sama lo. Maaf ya sebelumnya jangan marah.” jelas Adit panjang lebar.
“Oh,
kenapa lo harus minta maaf kalo lo ngerasa kita gaada hubungan?”
“Karena
gue ngerasa udah buat lo berharap banyak dan gue jatuhin, dan sekarang gue mau deketin
lo lagi.”
“Emang
lo sempet buat gue berharap dan jatuhin gue, tapi itu semua udah gue lupain ko.
Dan kayanya gue tau arah pembicaraan ini, jadi sebelum lo salah paham gue mau
jawab semuanya sekarang. Gue minta maaf kalo kedepannya kita gabisa sedeket
dulu, apalagi jadian, karena gue gamau pacaran sama orang yang udah nyakitin
gue. Jadi sorry ya, tapi kita masih bisa temenan kalo lo mau, kalo ga yaudah.”
“Tapi
tolong kasih gue kesempatan.”
“Gue
udah kasih lo kesempatan, tapi bukan sama gue, mungkin sama yang lain. Dan gue
harap lo sadar, kalo cewe itu bukan mainan yang bisa seenaknya dideketin terus
ditinggal”
“Ya
gue minta maaf Ra.” Adit tampak memohon.
“Udah
gue maafin ko. Lagian gue bukan tipe orang yang bisa gampang banget ngebenci
orang, tergantung orangnya aja. Eh iya, udah sore nih, gue duluan ya.” Ujarku
mengakhiri pembicaraan.
“Gue
anter ya?”
“Ga
usah makasih, gue naik angkot aja.” aku menolak tawaran Adit, dan kali ini
tanpa rasa penyesalan. Karena aku beruntung mengetahui semuanya sekarang
sebelum semua ini terulang.
Hai semua, (kaya ada yang baca aja) maaf baru bisa post lagi, maaf juga cerita ini agak gagal gitu:(
Comments
Post a Comment