Pengabdian yang Abadi



Fajar mulai menyongsong. Warga kampung mulai sibuk dengan bermacam-macam aktivitas. Bapak bapak yang dibantu remaja pria tanggung sibuk menyiapkan tenda. Para gadis sibuk membuat hiasan untuk diletakkan di panggung. Dan para ibu rumah tangga sibuk meracik masakan terlezat.
Keahlian warga kampung itu memang patut diacungi jempol. Dari leluhurnya mereka mendapat keahlian seperti itu. Dari leluhurnya pula lah mereka bisa bekerja sama dengan kompak seperti itu. Bahkan dengan menyatukan kemampuan mereka, warga kampung ini bisa menyiapkan acara penyambutan presiden sekalipun. Namun kali ini tetua hanya ingin mengadakan penyambutan kecil-kecilan saja. Kegiatan penyambutan biasanya dilakukan saat ada pernikahan atau ada tamu saja. Namun penyambutan kali ini lain, penyambutan kali ini adalah, penyambutan seorang wanita sukses dari kota yang ingin menengok kampung halamannya.
Sinar matahari mulai tampak dari celah dedaunan. Seperti sedang mengintip keadaan. Seolah terganggu dengan keributan tadi pagi. Seolah ingin tahu apa yang terjadi dibalik Gunung itu. Tapi sayang, warga kampung sudah selesai dengan kesibukannya. Kini yang ada hanyalah sekumpulan anak kecil yang sedang bermain di lapangan, dan sejumlah tenda yang lumayan besar untuk acara penyambutan.
-----
Udara dingin menyelimuti Lereng Gunung Slamet. Matahari memang belum menunjukkan tanda-tanda akan muncul, namun Kampung Plompong sudah sibuk. Tetua sibuk mencari dukun ke kampung sebelah. Terlihat ada satu rumah yang tampak ramai, tampak begitu sibuk. Entah apa yang sedang mereka ributkan disana. Namun jika diperhatikan dengan seksama, sepertinya ada bayi yang baru saja lahir.
Cahaya rembulan menyinarin Lereng Gunung Slamet, jam menunjukkan pukul 02.00 pagi saat anak perempuan itu dilahirkan. Wulan namanya, parasnya seindah cahaya rembulan yang bersinar malam itu.
“Anakmu ayu nduk” ujar salah seorang dukun sambil menggendong bayi perempuan yang baru saja lahir itu.
Koyok keon nduk ayu” ujar dukun lainnya yang ikut mendekat, lalu dukun itu menggendong bayi perempuan jelita itu untuk dimandikan.
Wulan tumbuh menjadi anak perempuan yang teramat cantik, jujur, lembut, dan pandai. Rambut ikalnya dibiarkan tumbuh panjang di kepalanya. Mata hitam itu jernih seolah tak berdosa. Tubuh ringkihnya masih mampu beraktivitas dengan baik. Jangan Tanya kenapa ia begitu ringkih. Karena pertanyaan itu hanya akan menyakiti hati kedua orangtua Wulan. Beruntung anak itu masih bisa tumbuh sampai di usianya yang ke 5.
Akhir-akhir ini Wulan terlihat lebih ceria dari hari-hari sebelumnya. Ya memang belakangan ini ia mendapat gizi yang cukup. Bukan, bukan karena orangtua Wulan sudah mampu membiayai kehidupannya, melainkan karena ada pendatang dari Yogyakarta. Ia adalah pengusaha bakpia yang tersohor di kota asalnya. Niat awal mereka hanya ingin berlibur di Kampung Plompong nan indah itu. Namun karena satu dan lain hal keluarga itu mempunyai niat baik untuk mengadopsi Wulan.
Pergilah Wulan bersama keluarga kaya raya itu. Sedih terlihat menyelimuti keluarga Pak Parjo. Tidak berlarut larut memang, namun cukup menggangu rutinitas Pak Parjo dan istrinya selama beberapa hari. Namun sangat bertolak belakang dengan anak perempuannya, Wulan terlihat sangat bahagia karena dia sudah merasa nyaman sejak hari pertama bertemu keluarga kaya raya itu. Selain itu Wulan sudah terbiasa bersosialisasi dengan orang asing.
Hari demi hari berlalu sangat cepat. Tanpa terasa Wulan sudah duduk di bangku sekolah dasar. Ia tumbuh menjadi anak yang cantik dan pandai. Bahkan bisa dibilang teramat pandai, karena pada suatu hari Wulan bertanya kepada Bu Ningsih dan Pak Djoko.
“Buk, Wulan iku anake sopo? Ko ga mirip ambek bapak yo ga mirip ambek ibuk? Wulan anake wong ta?” tanya wulan disuatu hari. Kedua orangtua angkatnya tampak kaget saat mendengar Wulan bertanya seperti itu.
Ngene yo nduk, koen sik cilik, engko ae nik koen wis SMP bapak jelasno” ujar Pak Djoko membujuk putri angkatnya. Beruntunglah Pak Djoko, karena Wulan tidak ngotot ingin tahu. Namun sayangnya Wulan itu anak yang teramat pandai. Ia tak akan lupa akan perkataan Pak Djoko, dan ia tak akan bertanya sampai waktunya tiba. Walau sebenarnya Wulan tak tahu apa itu SMP, seperti apa SMP, kapan SMP tiba. Tapi iya sabar, dan ia percaya bapaknya tak mungkin berbohong.
-----
Bumi tak pernah berhenti berputar, waktu tak pernah berhenti bergulir. Wulan tumbuh menjadi anak yang sehat, cantik, ceria, dan pandai. Setiap semester anak itu selalu mendapat gelar sebagai peringkat pertama di kelas. Biasanya setiap akhir semester Wulan pergi bersama keluarganya ke tempat tempat yang baru. Namun berbeda dengan tahun ini, masa libur semester kali ini ia habiskan dengan membantu usaha bakpia milik bapaknya. Ia sangat senang karena ia belajar banyak, ia belajar cara membuat bakpia, cara mengemasnya, dan ia merasa sangat senang. Ia anak yang pandai, dalam waktu 3 hari ia sudah pandai membuat bakpia, walau kadang bentuk yang ia buat adalah bentuk sesuka hatinya. Tak jarang ia memaksa para pekerja yang ada untuk membungkus bakpia buatannya dan membiarkannya membawa pulang bakpia itu. Tak jarang pula ia merajuk demi sekotak bakpia buatannya.
Kehadiran Wulan di industri rumahan milik bapaknya itu kerap kali mendatangkan hiburan tersendiri bagi para pekerjanya. Kehadiran anak itu seperti menuliskan cerita tersendiri dalam perkembangan usaha bakpia itu. Pak Djoko yang melihat hasil karya anaknya itu mendapatkan inspirasi untuk usahanya. Ia mulai menjual bakpia dengan beragam bentuk, dan ia kerap kali mengajak Wulan membantu pekerjanya. Wulan sangat senang, terlebih lagi saat bakpia buatannya sudah bisa dijajakan di toko milik bapaknya. Ia mulai membentuk bakpianya dengan hati-hati, dan bentuk yang sempurna. Gerak geriknya sangat lucu dan menggemaskan.
Pak Djoko terkadang lupa akan titipan itu. Pak Djoko dan Bu Ningsih kerap kali menganggap Wulan adalah anak kandungnya, beruntung Anggun tak pernah cemburu akan kehadiran Wulan. Mereka adalah adik kakak yang sangat kompak. Sampai saat Anggun ingin mendaftar ke sekolah barunya Wulan ngotot ingin ikut.
Mbak, lapo kok daftar sekolah neh?” tanya Wulan saat dalam perjalanan menuju sekolah baru Anggun
“Aku wis lulus SD Lan, saiki aku ape daftar nang SMP” jelas Anggun.
Kini Wulan tahu apa itu SMP. Bukan, bukan karena ia sudah duduk di bangku SMP, melainkan karena kakak angkatnya Anggun sudah duduk di bangku SMP. Tapi Wulan masih butuh 2 tahun lagi untuk merasakan seperti apa SMP itu. Jika mendengar cerita kakaknya soal seperti apa SMP itu, Wulan selalu merasa tidak sabar. Selain karena SMP yang terdengar sangat menyenangkan baginya, ia masih ingat betul perkataan bapaknya. ‘Engko ae nik koen wis SMP bapak jelasno’ kata kata itu tak akan pernah Wulan lupakan sampai saatnya tiba.
Dua tahun belalu sangat cepat. Wulan sudah resmi lulus dari SD, dan ia sudah resmi diterima di SMP unggulan di kota itu. Sekolah yang sama dengan sekolah kakaknya. Wulan masing ingat betul perkataan bapaknya beberapa tahun silam. Tapi kini gadis itu sudah lebih dewasa. Ia selalu mencari saat yang tepat untuk bertanya lagi. Hingga pada suatu hari.
“Pak, Buk, Wulan ape takon…” beruntung bapak dan ibuknya masih ingat akan janji mereka, dan mereka sudah merencanakan cara menjawabnya pada Wulan.
“Bapak ambek ibuk sik inget mbek pertanyaanmu mbiyen, bapak mbek ibuk kaget. Mangkakno bapakmu janjeni ape jawab nik koen wis SMP. Ibuk kiro koen lali.” jelas Bu Ningsih basa basi.
“Aku ora mungkin lali buk.” jawab Wulan singkat.
“Syukur nik koen ora lali. Sakjane koen iku anak angkat.” ujar Pak Djoko dengan nada yang sedikit bergetar. “Koen iku anake wong Plompong. Pak Parjo ambek Bu Hani iku wong tua kandungmu. Bapak mbek ibuk ora wani nyeritakno, wedi koen marah mbek bapak, gak gelem ngomong mbek ibuk. Tapi koen ora lali ambek janji bapak. Yo bapak ora iso bujuki koen. Iki fotomu ambek orangtua kandungmu mbiyen.” jelas Pak Djoko panjang lebar sambil menunjukkan foto meraka yang sengaja diambil tujuh tahun lalu. Spontan Wulan memeluk kedua orang angkatnya dan berterimakasih. Kedua orang tuanya membalas pelukannya dengan lebih erat. Mereka menceritakan alasan mereka mengadopsi Wulan. Sebenarnya Anggun selalu mengeluh ingin punya adik. Namun sayang, Bu Ningsih sudah tidak bisa hamil lagi, dikarenakan dinding rahimnya terlalu tipis. Mereka juga berterimakasih kepada Wulan karena sudah dengan senang hati mau menjadi bagian dari mereka.
Hari hari di kota Yogyakarta terasa sangat indah sejak kejadian itu. Hubungan persaudaraan Wulan dengan Anggun semakin hangat. Wulan merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga hebat itu, walau selalu terselip keinginan untuk kembali ke kampungnya. Namun keberaniannya belum cukup untuk mengatakan hal itu. Ia sudah besar, ia mengerti betul pengorbanan apa saja yang sudah dilakukan keluarga itu untuknya. Rasanya tidak sopan jika ia ingin kembali. Rasanya pembalasan budinya pada keluarga itu belum cukup.
Sejak kejadian itu hampir setiap minggu Wulan selalu menyempatkan untuk datang ke industri rumahan bapaknya. Bukan sekedar untuk melihat lihat atau menengok bapak dan ibuknya. Melainkan untuk membantu proses pembuatannya. Gadis cantik itu kerap kali digoda oleh para pekerja, namun gadis ramah itu sangat pandai bergaul. Tak jarang ia malah balik menggoda pekerja yang ada. Dengan gurauan seadanya industri itu selalu tampak lebih menyenangkan dengan kehadiran Wulan.
Pernah suatu malam Wulan menangis tersedu dalam shalatnya. Ia mengadu kepada Sang Ilahi akan masalahnya, ‘Gusti Allah tolong bantu hamba, pertemukan hamba dengan kedua orang tua kandung hamba. Hamba teramat merindukannya, hamba rindu mereka Ya Allah. Hamba ingin membahagiakan keduanya keduanya Ya Allah. Hamba ingin merasakan belaian tulus mereka. Hamba tak ingin mereka lupa pada hamba, begitu pun hamba yang tak ingin lupa akan mereka. Jika Engkau tak mengzinkan hamba bertemu mereka di dunia persatukan kami kelak di akhirat. Amin.’ Hampir setiap malam suara itu terdengar sayup dari kamarnya. Namun tak jarang pula terselip ucapan terimakasih akan segala sesuatu yang sekarang ia miliki. Ia Sadar keluarganya yang sekarang juga teramat menyayanginya. Mereka teramat tulus merawatnya sejak kecil hingga sekarang. Keinginannya untuk balas budi kepada keluarga itu teramat besar. Ia bercita-cita ingin mensukseskan usaha bapak angkatnya.
Tak terasa 5 tahun berjalan dengan cepat, usaha bakpia Pak Djoko semakin maju, kini penjualannya sudah sampai ke negeri tetangga. Ya, semua itu berkat Wulan. Gadis itu kini sedang sibuk membersiapkan proyek berikutnya untuk memajukan usaha kedua orang tua angkatnya. Berkat kesibukannya ia seringkali lupa akan beban hidup yang selama ini terselip di hatinya, walau hanya sesaat. Gadis itu memang sangat pandai berbisnis. Tapi dibalik semua itu ia tak pernah lupa akan Plompong, ai sedang menyiapkan biaya untuk kembali ke kampung halamannya. Masalah itu tak pernah ia ungkapkan kepada siapapun. Karena dia adalah seorang yang sangat tertutup soal ini, usaha menabungnya seringkali gagal. Tak jarang ia harus meronggoh sakunya untuk membantu beberapa pekerja yang ada. Mengeluarkan uang yang ia simpan untuk kembali ke Plompong. Namun itu bukan masalah besar baginya. Karena ia belajar banyak dari keluarga angkatnya. Ia belajar cara mengasihi satu sama lain, membantu orang yang membutuhkan, dan belajar untuk selalu berterimakasih pada Sang Ilahi.
Pernah suatu hari saat biaya tabungannya sudah lebih dari cukup untuk bisa kembali ke Plompong, saat ia sudah punya cukup keberanian untuk jujur. Saat itu pula salah satu pekerja bapaknya ada yang mengadu butuh biaya untuk biaya perawatan anaknya. Awalnya ia berniat untuk menolak membantu pekerja itu, karena ia pikir Plompong jauh lebih penting. Namun tiba-tiba saja tersirat dalam benaknya Plompong bisa menunggu, namun nyawa seorang anak bergantung padanya. Ya tentu saja pada akhirnya ia meronggoh sakunya untuk biaya opname anak pekerja tersebut. Memang para pekerja lebih nyaman mengadukan masalah mereka kepada Wulan. Walau terkadang Wulan sendiri bingung bagaimana cara mengatasinya. Begitu pula Wulan, tak pernah mengadu masalah yang sedang dihadapi para pekerja kepada Pak Djoko maupun Bu Ningsih. Menurutnya membantu para pekerja merupakan suatu pengabdian kepada keluarga anggatnya. Hitung-hitung balas budi.
Wulan tak pernah jujur tentang masalah Plompong ini. Walau sebenarnya tak jarang Pak Djoko dan Bu Ningsih menawarkannya untuk kembali. Namun ada saja alasan yang keluar dari mulut Wulan. Ia selalu bilang, ‘Aku durung siap buk’. Padahal ia tidak ingin merepotkan keluarga itu lagi. Sudah lebih dari cukup bagi Wulan, ia sudah diterima di keluarga itu. Belum lagi ia mendapat perhatian dan kasih sayang yang sama dengan yang Anggun dapatkan. Dia rasa itu sudah lebih dari cukup.
Usianya kini genap 20 tahun, tapi ia enggan meneruskan pendidikannya ke jenjang perkuliahan. Baginya lulus dari SMKN 1 Yogyakarta sudah lebih dari cukup. Ya, Wulan merupakan lulusan terbaik SMKN 1 Yogyakarta jurusan Administrasi Perkantoran. Ia juga mendapat tawaran magang di berbagai perusahaan, tawaran beasiswa dalam, maupun luar negeri. Tapi ia menolak semua tawaran itu mentah-mentah. Baginya memajukan usaha bakpia bapaknya sudah menjadi suatu kebanggaan. Tak perlulah ia berkeliling dunia. Karena untuk membalas budi keluarga itu pun Wulan belum mampu. Walau Pak Djoko pernah berkata, ‘Bapak ikhlas nulung koen nduk, ora usah dipikir piro biaya uripmu mbek keluarga iki, koen wis dianggep anake dewe.’ Namun kata-kata itu tak berpengaruh banyak. Baginya ia tetap harus membalas budi keluarga itu.

Kini sudah hampir 7 tahun Wulan memendam rasa rindu akan kampung halaman. Ia rindu bapak ibuknya. Ingin rasanya cepat pulang dan memeluk erat keduanya. Namun disisi lain ia takut. Ia takut kedua orang tuanya lupa siapa dia, ia takut tidak diakui sebagai anak, ia teramat takut untuk kembali. Belum lagi ia harus meminta izin kepada keluarganya di Yogyakkarta. Rasanya ia telah menjadi anak durhaka, anak yang tidak tahu diri. Hampir setiap malam dalam shalatnya Wulan memohon petunjuk Sang Ilahi. Wulan percaya Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk dirinya dan orang orang di sekitarnya.

Comments

Popular Posts