Rasa yang Tak Terlihat
Sudah
sangat lama rasanya aku tidak menulis cerita. Entah sudah berapa banyak pembaca
blogku yang menghilang karena terlalu lama menunggu. Tapi di cerita kali ini aku
akan membahas soal penantian. Masalah inspirasi, biarlah aku saja yang
mengetahui soal itu. Bila salah satu dari kalian para pembaca ada yang merasa
dirinyalah pemberi inspirasi itu, maka selamat, dan semoga memang kalian
orangnya. Enjoy.
*****
Dingin,
masih pukul 4 pagi disini. Tapi lihatlah gadis itu, dia sudah sibuk menata buku
bukunya. Mau kemana dia sepagi ini? Lembaga pendidikan mana yang sudah mulai
sepagi ini? Ah, tapi lihatlah wajah gadis itu, begitu cantik, mempesona, dan
sepertinya sangat ramah. Aku yakin setiap orang yang melihatnya pasti ingin
mengenalnya. Hey lihatlah dia memasuki panti asuhan di samping rumahnya. Oh aku
baru ingat, dia gadis yang baru saja pindah dua hari yang lalu. Entah apa yang
membawanya kesini, tapi menurutku tempat ini tak pantas untuk gadis secantik
dia. Kenapa gadis itu sangat membuatku penasaran? Siapa dia sebenarnya? Dari
mana dia? Untuk apa dia datang ke panti itu?
“Eh,
Neng Lina, silahkan duduk dulu, biar saya panggilkan anak anak” suara pemilik
panti asuhan itu terdengar sangat senang menyambut gadis yang bernama Lina itu.
Selama aku disini, aku tak pernah mendengar Bu Heni sebahagia itu menyambut
tamu. Apa sih sebenarnya yang spesial dari gadis itu?
“Iya
bu, terimakasih” ya Tuhan, suaranya meluluh lantakkan hati yang mendengarnya,
lembut sekali bagai sutera. Ingin rasanya aku mengenal dia lebih jauh. Tak
berapa lama anak anak panti asuhan itu berlari dengan semangat menuju tempat
Lina duduk. Mereka membuat formasi duduk yang indah dan rapih, tanpa
diperintahkan. Aku jadi ingin tahu, apa yang spesial dari gadis itu? Kekuatan
apa yang ia punya sehingga ia mampu membuat puluhan anak berlari ke arahnya? Dan
sepertinya aku tak perlu menunggu lebih lama, karena sekarang aku sudah tahu
jawabannya. Gadis bernama Lina itu ternyata pendongeng yang handal, aku saja
sampai terlarut pada cerita yang ia bawakan. Padahal ia hanya membawakan
dongeng dongeng lama, tapi dia memiliki cara khas untuk menarik para pendengar.
Sesekali kudengar mereka tertawa bersama. Tak jarang pula Lina membuat wajah
anak anak panti itu terlihat sangat penasaran. Aku tak mendengar jelas cerita
yang ia bawakan, aku terlalu fokus pada keindahan wajahnya.
Tak
terasa sudah hampir pukul 7, dan sekarang waktunya untuk sarapan. Gadis itu
beranjak kearah ruang makan dan diikuti anak anak lain. Ia membantu Bu Heni
(pemilik panti) menyiapkan sarapan. Lalu ia diajak Bu Heni ke kamar bayi.
Setibanya ia disana, wajahnya terlihat memucat, tubuhnya bergetar, dan ia
langsung memeluk tubuh Bu Heni. Ya Tuhan, bidadariku menangis. Ingin rasanya
aku menghampirinya, dan memeluk tubuh lemahnya itu. Tapi rasanya tak mungkin.
“Bagaimana
bisa Bu? Mengapa mereka semua disini?” kalimat itulah yang pertama kali keluar
dari mulut Lina saat ia mengelilingi kamar itu.
“Beberapa
dari mereka sengaja dititipkan kesini, yang lainnya terbuang” jelas Bu Heni.
“Tapi Ibu sudah menganggap mereka sebagai anak sendiri, karena itulah yang
harus Ibu lakukan. Tak ada pilihan lain, dan sepertinya takkan pernah ada” tak
berapa lama terdengar salah satu bayi menangis di ujung ruangan. Lina bergegas
menghampirinya, lalu menggendongnya. Bayi itu terdiam saat berada di dekapan
Lina. Panti itu tak pernah lebih berwarna sebelum Lina datang. Dan semakin hari keadaan disana tidak pernah memburuk.
*****
Malam
semakin larut, tapi lampu kamar gadis itu masih menyala. Sepertinya ada yang
mengganggu pikirannya akhir akhir ini. Ia sudah hampir 3 bulan berada di tempat
ini, tak pernah kulihat lampu kamarnya menyala sampai selarut ini. Dan aku
yakin betul ia tak pernah lupa mematikan lampu kamarnya itu. Dua hari yang lalu
lampu itu baru dimatikan pukul 1 pagi, kemarin menjelang pukul 2. Tapi anehnya setiap
pagi wajah manis itu tak pernah terlihat lelah. Jam sudah menunjukkan pukul
2.30, dan akhirnya lampu kamar itu menjadi gelap.
Hari
ini tampak berbeda, jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi, tapi kamar gadis itu
masih tertutup, begitu rapat. Seolah tak ada kehidupan di dalamnya. Menjelang pukul
8 aku melihat seorang pria mengenakan flannel kotak kotak menghampiri rumahnya.
Mungkin kakaknya, tapi mungkin saja bukan. Tunggu, pria itu membawa rangkaian
bunga, tapi untuk apa? Pasti dia bukan kakaknya. Tak berapa lama Lina keluar
dengan pakaian rapih, dan wajah yang berseri. Tanpa aba aba Lina melompat ke
pelukan pria itu. Aku dibuatnya semakin penasaran. Siapa dia sebenarnya?
Mungkin aku akan mendapat jawabannya jika aku bertanya, tapi mungkin saja
tidak. Baiklah aku akan bertanya pada Bu Heni, semoga jawaban yang kudapat
memuaskan.
Aku
berjalan menuju panti asuhan Bu Heni, melewati rumah yang ditinggali Lina.
Rumah itu sekarang kosong, setengah jam yang lalu Lina pergi dengan pria yang
tak kukenal. Dengan tekat yang kuat, aku abaikakn segala resiko yang mungkin
akan ku dapat.
‘tok
tok tok’ aku mengetuk pintu panti asuhan itu. Panti asuhan terdengar sepi
sekali. Kemana semua anak yang biasanya berebut mainan? Kemana hiruk pikuk
panti asuhan ini? Tiba tiba kudengar suara langkah kaki mendekat. Aku kuatkan
tekadku, ku bulatkan keberanianku.
“Silahkan
masuk” Bu Heni terlihat sangat pucat, tapi ia tetap berusaha tersenyum. Ada
sebersit kebahagiaan dimatanya yang membuat ia tetap terlihat tegar.
“Bu,
saya mau bertanya” kata kata itu meluncur begitu saja, tanpa basa basi.
“Duduk
lah dulu, jangan terburu buru. Aku tahu suatu saat kau pasti akan bertanya soal
gadis itu. Aku tahu kau selalu mengamatinya setiap saat. Jadi silahkan duduk
dulu, akan kubuatkan teh” ah, Bu Heni memang hebat soal ini. Aku duduk di kursi
yang ada di ruangan itu. Tempat ini terlihat berbeda, terlihat sepi, ada yang
aneh. Tak berapa lama Bu Heni kembali membawa teh dan beberapa kue kering. Aku
duduk disana sekitar 2 jam, aku tak banyak bicara, lebih banyak terkejut.
Sekarang aku tahu semuanya. Sekarang aku sadar, sekarang aku mengerti. Apa yang
kulihat selama ini tidak sama seperti apa yang dia rasakan. Dibalik cantiknya
wajah itu, dibalik ramahnya senyuman itu, ada sebuah hati yang ia tata kembali.
Ternyata debalik semangat hidupnya itu, dibalik semua kesibukan itu, dibalik
semua perhatian itu. Ada seseorang yang ingin ia lupakan, ada sebuah rasa yang
ingin ia tinggal. Dan ternyata aku terlambat mengetahui semuanya. Andai aku
maju lebih dulu, andai aku punya keberanian yang cukup untuk menyapanya hari
itu. Mungkin aku akan mendengar semua isi hatinya. Mungkin aku akan memiliki
kesempatan untuk masuk kedalam hatinya. Meskipun aku tak yakin akan berakhir
seperti apa, tapi kalau aku maju lebih awal setidaknya aku punya kesempatan. Tapi
kali ini pun aku masih belum benar benar tahu apa yang gadis itu rasakan selama
ini. Bu Heni hanya memperluas sudut pandangku. Dan ternyata umurnya tak semuda
wajahnya, bulan depan ia akan menikah. Menikah dengan orang yang sama sekali
tak kukenal. Dan aku, siapa aku? Aku hanyalah pria yang tak memiliki keberanian
walau hanya untuk menyapa. Aku lah pria yang selalu mengamatinya dalam diam.
Jadi???gimana nih sih aku sama linanya???
ReplyDeleteAda lanjutannya gak dar???? Deg degan aku bacanya hahaha g tau kenapa xD
ahahaha, deg degan kenapa atuh nyai :p ada yah nanti ditunggu :D
Delete