Rasa yang Tak Terlihat - Lina Part 2



Saat memulai menulis cerita ini, aku bahkan tidak tahu cerita ini akan menjadi begitu panjang. Semoga saja kalian masih menikmati ceritaku.

*****

Hari ini dan seterusnya aku akan banyak menghabiskan waktuku bersama anak anak panti. Ya, sejak dulu Bu Heni dan suaminya memiliki yayasan panti asuhan. Dan sampai saat ini tempat ini masih bertahan. Bangunannya masih begitu kokoh, banyak kekuatan doa di setiap pilar yang menguatkannya. Aku selalu senang berada di tempat ini sejak usiaku masih 5 tahun, saat panti ini pertama kali kedatangan penghuni. Dan aku selalu senang berbagi dengan mereka. Dan itulah yang akan menjadi rutinitasku untuk beberapa bulan kedepan.

Dan ternyata keputusanku ini tidak salah. Tiga tahun lalu, sehari setelah aku pergi ke Amerika, Bu Heni dihubungi oleh seorang pria yang mencariku. Tapi sampai detik ini aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung. Tapi setiap hari aku selalu bertemu dengannya, melalui cerita cerita yang disampaikan Bu Heni. Beliau bercerita bahwa ia selalu datang ke panti setiap hari selama dua tahun. Setelah itu ia bercerita akan meneruskan studinya ke Jerman. Tapi yang aku herankan ialah, dia selalu menghubungi Bu Heni setidaknya sekali dalam seminggu. Seolah Bu Heni adalah ibunya.

Setiap hariku selalu diisi oleh cerita tentangnya. Seolah aku sangat mengenalnya meski aku belum pernah melihatnya barang sedetik. Bahkan melalui gambar pun tidak. Suatu malam, dia menghubungi Bu Heni, aku kira beliau akan memberi tahu bahwa aku sudah tiba, tapi ternyata tidak. Beliau bercerita seolah aku tidak ada disitu. Aku tidak pernah mengerti jalan pikiran beliau meski aku sudah sangat lama menghabiskan waktu bersamanya.

Keesokan harinya beliau bercerita bahwa anak itu sedang menyelesaikan tugas akhirnya dan akan segera kembali ke Indonesia. Kalian tahu, bahkan sampai saat ini aku tidak mengetahui namanya. Bahkan darimana dia mengenalku pun aku tidak tahu. Entah sudah berapa kali aku bertanya pada Bu Heni. Dan entah sudah berapa kali aku mendapat senyuman yang sama untuk jawaban dari setiap pertanyaanku mengenai dirinya. Senyuman Bu Heni yang benar benar kuhafal, sampai aku bisa menjawab pertanyaanku sendiri dengan senyuman itu.

Pada akhirnya aku menyerah untuk bertanya, lama kelamaan aku hanya membiarkan semua cerita Bu Heni menguasai imajinasiku. Sampai akhirnya satu tahun itu pun berakhir. Satu tahun penuh penantian. Satu tahun penuh harap Satu tahun hidup dalam angan angan dan bayangan Dan satu tahun yang teramat panjang untukku. Hari itu pun tiba, hari yang selama ini aku tunggu kedatangannya. Ya, dia kembali ke Indonesi. Dan untuk pertamakalinya dalam penantian panjang ini aku akan secara langsung melihatnya.

*****

Ini memang bukan kali pertamaku datang ke bandara. Aku sudah hafal betul apa yang harus aku lakukan saat aku akan menjemput seseorang di bandara. Bagaimana tidak, sejak usiaku 3 tahun aku sangat sering menunggu kedatangan orang tuaku di bandara. Namun kali ini lain. Kali ini aku begitu gugup, bahkan lebih gugup dari saat aku tes wawancara untuk beasiswaku. Tanganku begitu dingin, kakiku begitu lemas, perutku begitu sakit. Rasanya aku tak mampu untuk berdiri lebih lama. Rasanya aku ingin menunggu dirumah saja. Tapi apalah dayaku. Bu Heni telah memilihkan baju terbaik untukku. Dan kini taksi sudah menunggu di depan pintu.

Aku tahu semalam Bu Heni di telfon oleh lelaki itu, tapi untuk kali ini beliau merahasiakan percakapannya. Aku hanya bisa mendengar samar samar apa yang mereka bicarakan. Pembicaraan sekitar setengah jam itu terdengar begitu menarik. Sayangnya aku tidak bisa menangkap sedikitpun informasi dari percakapan tersebut. Tapi aku yakin ada yang mereka rahasiakan didalam percakapan tersebut.

Rasanya aku setengah sadar, bahkan aku tak begitu mengingat bagaimana kau bisa duduk di dalam taksi saat ini. Padahal aku sudah berencana untuk pergi ke toilet agar aku tidak jadi menemuinya di bandara. Dan yang lebih mengherankan adalah, aku sudah setengah perjalanan menuju bandara. 30 menit lagi aku akan tiba di bandara. Pikiranku semakin kacau, aku tahu beberapa dari kalian mungkin tidak akan mengerti apa yang aku rasakan saat ini. Tapi ya ini lah yang aku rasakan.

Dan 30 menit hanya terasa seperti 5 menit, bahkan mungkin kurang. Aku sudah tiba di bandara, aku sudah turun dari taksi yang membawaku selama kurang lebih satu jam. Dan disinilah aku berdiri sekarang. Menunggu dia datang, dia yang bahkan tidak bisa aku bayangkan seperti apa sosoknya. Pandanganku saat ini kosong, hanya menatap lurus ke arah pintu kedatangan. Aku bahkan tidak mengetahui sudah berapa banyak orang yang melewatiku. Yang aku tahu pesawatnya akan tiba 10 menit lagi, dan aku akan menemuinya hari ini.

Tiba tiba saja sebuah suara membuyarkan semua lamunanku. Suara itu terdengar begitu asing, namun aku benar benar mengenal suara itu. Benar saja dugaanku, dari arah pintu kedatangan aku melihat seorang pria seumuranku dengan tubuh yang cukup tinggi melambaikan tangan. Dan Bu Heni membalas lambaian tersebut dengan wajah sumringah. Spontan aku tak lagi merasakan kakiku, dadaku terasa amat sakit. Aku gugup. Aku ingin menghilang detik ini juga. Aku belum siap.

Beberapa detik kemudian wajahnya mulai terlihat jelas. Dan kini dia berdiri tepat di hadapanku. Sayangnya aku benar benar tidak mengenali sosok pria tinggi ini. Wajahnya begitu asing dalam ingatanku. Hingga akhirnya.

“Lina? Lupa ya sama aku” suara itu, suara yang asing namun begitu ku kenal, memanggil namaku. Apakah dia benar benar mengingatku atau hanya karena aku bersama Bu Heni saat ini? Dadaku terasa begitu sesak. Aku kehabisa oksigen. Aku membutuhkan oksigen. Aku lupa caranya berbicara. “Jadi kamu beneran lupa nih?” sambungnya, dan kini dengan senyuman yang membuat dadaku semakin sesak. Senyuman yang tanpa sadar telah membuka sebuah memori lama. Aku kenal betul dengan senyuman itu, aku selalu melihatnya setiap senin pagi saat aku duduk di bangku SMA dulu. Senyuman yang menghiasi setiap senin pagiku selama tiga tahun. Senyuman yang selalu menjadi semangatku mengawali setiap minggunya. Senyuman yang berhasil membuatku jatuh cinta pada hari senin, hingga saat ini.

“Ditto? Kamu Ditto kan?” kalimat itu meluncur tanpa beban dari mulutku. Senyum itu semakin terlihat bahagia.

“Wah, gak lupa ternyata” sambungnya. Ya, betul, dia Ditto. Sosok yang selalu kulihat setiap senin pagi di gerbang sekolah. Dia teman seangkatanku saat SMA dulu. Kita tidak pernah sekelas selama di SMA, dan aku tidak pernah berharap menjadi teman sekelasnya. Dan anehnya lagi aku hanya melihatnya setiap senin pagi, aku tidak pernah sekalipun melihatnya di kantin atau di lapangan basket, atau dimanapun. Hanya setiap senin pagi di gerbang sekolah. Dan itu sudah lebh dari cukup bagiku untuk bisa mengaguminya. Dan hari ini berakhir begitu baik, kami (aku dan Bu Heni) diajak mengunjungi keluarganya. Dia mengenalkanku kepada kedua orang tuanya. Dan sisa hari ini berjalan begitu indah.


Dan kini sudah saatnya aku pergi, memulai kehidupan yang baru, meneruskan lembaran di buku lama yang sudah kusimpan rapih. Aku tidak sempat berpamitan pada semuaorang yang ada disini. Meski aku tahu ada yang selalu mendoakan aku diluar sana, diluar dinding dinding kokoh panti ini. Aku hanya menitipkan salam untuk malaikatku diluar sana.

Comments

Popular Posts