Bandara
Vani mulai panik saat pesan singkatnya tak kunjung mendapat balasan. Sudah lebih dari 10 kali ia mengecek layar ponselnya, menantikan notifikasi dari kakak kesayangannya. Adam tidak pernah tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Hal ini tentu membuat Vani panik dan melayangkan pikirannya ke segala kemungkinan. Sampai akhirnya pandangan Vani berhenti pada sosok ya tak asing. Sosok yang sangat akrab, namun bukan orang yang sedang ia cari.
"Van" sapa orang itu sembari melambaikan tangannya, tak lupa ada senyum yang tersemat manis di wajahnya. Vani sontak terkejut melihat Dana yang justru memanggil namanya setengah berteriak sambil melambaikan tangan. Vani pun berjalan mendekat dengan senyum kikuk karena terkejut dan sedikit salah tingkah. Dana juga berjalan mendekat, dengan langkah kaki panjang dan cepat.
"Eh, kok Kak Dana disini?" tanya Vani yang tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Iya, kan gue mau jemput lo, Bang Adam ga cerita emangnya?" Vani hanya terdiam mendengar jawaban santai Dana, tidak mampu menggendalikan tubuhnya, hanya terpaku menatap pria yang diam-diam ia kagumi 2 tahun terakhir. Sementara Dana sibuk meraih barang yang ada di tangan Vani.
"Lo mau pindahan apa gimana deh Van? Banyak bener bawaannya" Dana yang mampu membaca situasi berusaha mencairkan suasana. Vani pun berhasil mengumpulkan kembali kesadarannya, meski belum berhasil mengendalikan jantungnya yang terus berdegup kencang.
"Hehe, iya Kak, itu titipannya temen-temen, sama ada beberapa bekel dari ayah ibun juga" Vani menjawab sambil mengikuti langkah Dana yang sudah berjalan lebih dulu menuju parkiran sambil menarik barang bawaan Vani.
"Kak, Mas Adam kemana? Kok gak bales chat gue dan gak ngabarin?" tanya Vani saat mereka sudah tiba di parkiran mobil. Beruntung ia masih bisa mengendalikan dirinya sepanjang perjalanan menuju parkiran.
"Bang Adam ada keperluan mendadak Van, tadi kebetulan lagi sama gue, jadi langsung minta tolong gue buat jemput lo"
"Ya ampun, gue kira Mas Adam kenapa-kenapa, sampe gabales chat sama sekali" Vani lega mengetahui kondisi kakaknya yang setidaknya tidak mendadak masuk UGD.
"Van, lo sibuk ga?" tanya Dana saat keduanya sudah duduk manis di dalam mobil Brio Hitam miliknya.
"Ngga sih kak, kenapa emang?"
"Makan dulu yuk, gue laper"
"Boleh, kebetulan gue juga laper kak"
"Oke, gue ada tempat makan yang lagi pengen banget gue cobain, kita kesana ya"
"Gue ngikut aja kak, lagian Mas Adam juga udah tau kalo lo yang jemput gue, jadi santai" Dana pun segera menginjak gas.
Hanya suara radio yang mengisi ruang mobil Dana selama 15 menit, keduanya sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Dana sedang fokus memilih rute tercepat, agar keduanya bisa berbincang dengan lebih nyaman. Sedangkan Vani sedang berusaha keras berkompromi dengan seluruh anggota tubuhnya agar bisa tetap terlihat santai.
"Gimana Sydney Van?" Dana membuka bahasan saat sudah menemukan rute yang akan dipilih.
"Seru kak, apalagi kalo ada yang nemenin, hehe" jawab Vani yang sudah mulai bisa mengendalikan dirinya.
"Hahaha, iya ya, lo pasti banyak jalan-jalan sendirinya ya"
"Iya kak, agak sedih sebenernya waktu Mas Adam balik"
"Lo suka jalan-jalan emangnya?"
"Biasa aja sih, kemarin karena gabut aja kak" suasana kemudian mulai mencair antara keduanya, gelak tawa pun turut menghangatkan suasana. Tak terasa mereka sudah tiba di lokasi. Suasana yang sudah mulai menghangat memberikan kesan pertama yang menyenangkan untuk keduanya. Ini memang kali pertama mereka berinteraksi secara intens, Namun semuanya berjalan mudah bagi Dana, karena ia sudah memperhatikan Vani selama 13 tahun. Bahasan demi bahasan terus bergulir karena tanpa disadari mereka sebenarnya telah menghabiskan banyak waktu bersama, mengingat Dana adalah salah satu sahabat Adam.
[]
----------
narasi untuk The Porororo Changs on Twitter
Comments
Post a Comment